Kamis, 19 Agustus 2010

Cerita Pendek

"Ah, bosen ah. Kamu dulu yang ngoceh. Nih dengerin. ini giliran aku ya!" teriak Berto pada Ucok.



Abu-Abu Kelabu di Hari Rabu

Oleh : Reijefki Simbolon


Hari aku berjalan menitik rumputan hijau dan gelaran aspal. Entah berapa kilo aku berjalan menyusuri persimpangan dijalan Jendral ini, ku perhatikan seluk beluk dan kepingan bongkah batu di sela-sela parit kanan. Kubiarkan pikiranku melayang dan berhembus meredam remah-remah memori lama yang pernah berkecamuk dalam asa dan pikiran ku. Aku terus menatap dan membiarkan pikiranku menyambut lembaran lama yang membual dalam hatiku yang terus menari. Oh... Tuhan teriakku dan kulanjutkan dengan menghela engah nafasku. Kulihat sebuah tunggak kayu lapuk kokoh berdiri di tepi kiri jalan ini. Kupusatkan pandangan dan rasaku pada sebuah benda yang begitu menarik perhatianku. Kuperhatikan betapa sunyi jalan ini. Di siang bolong seperti ini hanya melintas seorang penjual kasur keliling dengan sepeda tuanya. Lalu entah mengapa pikiranku melayang membuai anganku. Entah imbas betapa stresnya aku hari ini atau karena memang kodisi jiwa dan fisikku yang lemah.
Lalu kurasa jalan anganku terus berjalan melintasi sekat-sekat waktu yang telah kukubur dalam remah-remah kalbuku. Kubiarkan angan itu menguasai segenap rasa dan hatiku. ‘Ma..., Hati-hati ma...!”, teriakku mengalun spontan


“Oh, santai nak... mama ingin cepat, pasti papa sudah nggak sabar lagi menanti hadiah ulang tahun spesial dari mama”. Itulah sepintas gelimang ingatanku ketika mama mengendarai mobil kami dengan begitu cepatnya. Saat itulah masa terindah dan terakhir bagi sosok yang telah mengandung dan melahirkanku. Dia pulalah yang telah merawat dan melukis kenangan indah yang begitu manis dalam hidupku. Aku berhenti berjalan. Kulihat trotoar jalan yang kusam akibat selimut debu. Entah mengapa tiba-tiba kurasakan kakiku begitu pegal dan aku terduduk di trotoar itu. Kubersihkan kumpulan debu dihadapanku. Kubiarkan aku duduk melepas lelah usai sekolah. Kulirik sedikit kearah arloji tangan kiriku. Oh.. jarum pendeknya telah berada di bagaian kanan atas. Aku kembali berdiri, entah apa maksud tungkaiku. Lalu kekmbali aku duduk, kuhempaskan penatnya dan kubantingkan rasa deritaku selama tiga tahun yang lalu. “Wush...........”, angin timur yang sejuk kubiarkan merekah di dalam seragamku. Aku merasa kantuk seusai angin itu membelai dan mengusap wajahku.
Tidak terpikir lagi olehku, mulai darimana aku mengingat kejadian tragis itu. Waktu itu kami sehabis pulang dari mall rasaku. Lalu ibu mengajakku berkeliling menyusuri lorong-lorong pakaian. Ibu sibuk memilih dan mencari hadiah terbaik buat hari ulang tahun ayah. Sudah berapa lama akhirnya ibu memilih sebuah hadiah yang tidak kami ketahui dan telah terbungkus rapi oleh kertas kado merah. Adikku Rani juga mengapa tidak mengetahui apa isi kado itu. Ibu bermaksud memberi kado itu tepat ketika ayah pulang dari Bogor. Lalu ibu mengajak buru-buru. Ia takut nanti ayah sudah lebih dahulu sampai dirumah dan menunggu kami. Segera ibu pacu kecepatan mobil kami. Kembali kuhela nafasku. Entah mengapa aku tercekat oleh remah-remah liurku sendiri. Airmata itu terasa mulai terurai di sekeliling pipiku. Aku tak sanggup mengingatnya. Tiba-tiba kudengar rintihan, “Tolooooong... Ando....Awas!”. Tiba-tiba aku terjaga dari lamunan yang begitu sakit dan membosankan ini. Kuperhatikan disekelilingku. Suara itu terdengar kearah selatan dari tempatku berdiri kini. Aku langsung berlari mengahalau rasa sedihku menuju suara yang begitu menarik perhatian itu. Di sebelah selatan di tepi jalan kopral kulihat ceceran darah menghambur kearah rumputan. Kuikuti jejak itu. Kudengar suara rintih itu berubah menjadi sebuah tangis yang begitu mengharukan. Kudengar dan kulihat suara seorang ibu tersedu-sedu memangku sosok mayat yang bersimbah darah. Kuperhatikan tangis ibu malang ini. Tiba-tiba lembaran memori lamaku kembali terbuka dan mengingatkanku pada sebuah cerita yang akan terus memacu tangisku. Aku mulai menangis melihat ibu yang dengan hangatnya mendekap putranya. Aku mulai merasa iri melihat kasih yang luar biasa ibu ini. ‘Ibu mengapa engkau pergi’, teriakku pada mamaku yang telah menghadap Dia kerumah yang senang disana.
Tak ada seorang pun disana. Jalan ini begitu sepi dilalui orang. Ketika sudah mulai reda perlahan kuraih pundak ibu itu dan kutanya apa yang terjadi. Ternyata sebuah kejadian tabrak lari baru saja terjadi, sang ibu tersebut harus kehilangan putra mungilnya yang baru berusia kurang dari lima tahun kurasa. Aku ingat ibuku yang begitu menyayangiku, membelai disetiap ada kesempatan. Kuantar ibu ini menyusuri jalan-jalan sepi dan mencari pertolongan bagi jasad anaknya. Kuingat aku harus mempersiapkan segalanya bagi hari kamis esok.
Oleh: Reijefki Irlastua, Menyusuri hati gundah dan sepi, 2009

Beberapa calon petualang mengantuk mendengar cerita ini. Huhu... pasti pada kekenyangan.

3 komentar:

  1. rey sepertinya ini pernah tulang baca tp sudah lama mirip-mirip mungkin iyah...alur ceritanya sedikit membingungkan...sepertinya ada alur cerita yang terputus...kamu buat,terlepas dari semua itu kamu menulisnya sudah bagus

    BalasHapus
  2. Termakasih... Ini Original Tulang... karya sendiri kok... nggak ada niru karya orang... inilah yang kusebut"Petualanagn Tulisan"... jadi alurnya agak membingungkan memang...

    BalasHapus
  3. is very good!
    i like your cerpen

    BalasHapus